Teman-teman memanggilku "si koma," asal kata si kopi maniak. Setiap hari mereka memperhatikan aku lebih banyak meneguk kopi dibanding air putih. Itulah asal-muasal nama panggilanku. Kebiasaan yang sebenarnya tidak sehat. Tapi apa mau dikata, semua ini kesalahan bokap. Dulu bokap bekerja di perusahaan kopi, sebagai kopi tester. Karena itu di rumah banyak sekali kopi dari belahan dunia manapun. Bokap terlalu bangga dengan keahliannya tersebut. Hingga suatu hari ia ingin keahliannya diturunkan ke anak-anaknya. Pada saat itu aku membayangkan bokap seperti seorang petapa sakti yang ingin mewariskan keris pusakanya ke murid pilihannya. Dan akulah the choosen one. Sejak saat itulah, di usia 10 tahun aku telah mencicipi hampir seluruh kopi di dunia ini. Lucunya dulu aku merasa terpaksa, tapi sekarang justru jadi hobi. Baiklah nama resmiku Deni Oktavianus. Arti nama itu sebenarnya simple saja, yaitu seorang anak bernama Deni yang lahir di bulan Oktober. Begitulah penjelasan bokap sewaktu aku duduk di bangku SMP dulu. Kreatif juga pikirku.
Saat ini usiaku 30 tahun, status sedang mencari jodoh. Sudah hampir tiga tahun ini aku ngejomblo. Kalau dihitung-hitung, baru dua kali aku pacaran serius. Mungkin kacamata dan kebiasaan membaca buku yang membuat banyak gadis menganggapku si kutu buku nan pemalu. Padahal kalau kacamata ini ku buka, banyak orang membandingkan aku dengan Christian Sugiono. Aktor terkenal yang cakep itu. Cuma kata orang kulitku agak sedikit lebih gelap dan rambutku dibelah pinggir, tidak jigrak seperti Christian dalam iklan minyak rambutnya. Memang sih aku akui apa yang mereka katakan itu banyak benarnya. Gede kepala, ngak lah, karena Christian dan aku sama-sama berdarah indo. Kakekku adalah orang Inggris asli yang menikah dengan nenekku yang asli Jogya.
Keinginan bokap agar aku jadi penerusnya tak bisa ku penuhi sekarang. Karena pekerjaaan yang ku geluti saat ini yaitu penerjemah novel-novel import. Tapi paling tidak yang membuat bokap sedikit terhibur, semua pekerjaanku tidak bisa ku lakukan jika tanpa ditemani segelas kopi atau lebih. Hobiku memang suka ngopi di mall atau cafe pinggir jalan, paling tidak dua kali dalam seminggu. Dan malam itu sekitar jam 6 sore, sepulang kerja, aku mampir ke sebuah mall, sendirian seperti biasa. Mall di kawasan Jakarta selatan yang namanya mirip dengan nama merek chiki cemilan anak-anak kecil. Sebenarnya misi utamaku malam itu (dan seperti malam-malam lainnya) adalah untuk bertemu tulang rusukku, yang menurutku telah disediakan oleh Tuhan. Tulang rusuk yang tidak akan datang sendiri jika aku hanya berdiam diri di rumah. Melainkan harus ku cari dalam pertualangan hidupku. Dia adalah gadis yang pernah merasuk di mimpiku setahun yang lalu. Gadis yang datang menemuiku di sebuah cafe yang tidak banyak pengunjungnya, tapi aku tidak tahu di mana persisnya cafe itu berada, apalagi namanya. Yang aku ingat samar-samar dari gadis itu, dia cantik, putih, tinggi, kurus, berambut hitam panjang lurus sepunggung, bergigi putih rapi dan berlesung pipit. Biasalah...tipe gadis foto model yang dikagumi seluruh cowok-cowok normal. Bahkan bagi mereka yang sudah berkeluarga sekalipun. Tapi yang tidak samar-samar aku ingat dari gadis itu adalah... wangi parfumnya. Wangi yang masih menempel di saraf-saraf hidungku dan masih aku ingat wanginya hingga saat ini. Wangi perpaduan antara ekstrak bunga mawar, melati, sampaguita, honeysuckle, dan jeruk. Wangi parfumnya itu bercampur bau keringat dari tubuhnya, hingga menghasilkan aroma yang sungguh menggoda aku. Sebenarnya sangat sulit untuk aku gambarkan, tapi kalo mau jujur, aroma itu selalu membuat sekujur tubuhku bergetar alias bergairah padanya. Seperti wangi parfum yang dipakai Cleopatra saat menggoda Julius Cesar hampir 2000 tahun yang lalu di Alexandria.
*****
Cafe langgananku adalah cafe yang letaknya tidak jauh dari lobi pintu utama mall. Begitu masuk pintu cafe, aroma kopi langsung merasuk di hidung, menenangkan syaraf. Malam itu, cafe berfranchise negeri paman Sam tersebut, tidak penuh, banyak kursi yang kosong. Stereo dari dalam cafe melagukan irama easy listening tahun 2000-an, selaras dengan dekorasi cafe yang minimalis, banyak garis-garis lurus di dinding dan interior membuat kesan simple modern yang enak di pandang mata. Seperti biasa aku duduk di teras cafe atau lebih tepatnya lagi di depan cafe tempat orang banyak berlalu-lalang. Sebenarnya kurang nyaman juga menjadi perhatian orang-orang yang lewat di depanku, tapi masa bodoh. Toh aku juga menikmati memperhatikan macam-macam perilaku dan tampang mereka.
Beberapa detik setelah aku duduk, seorang waiter cantik berseragam putih hitam, bertopi golf dan hair net yang menghias rambutnya, datang menghampiriku. Dengan menu di tangannya ia menawarkan, atau lebih tepatnya lagi mempresentasikan secara detil apa-apa saja yang special di cafe tersebut, seolah aku adalah pelanggan baru di sana. "Sial... apa dia gak kenal aku ya? Lebih fasih aku kenal menu di cafe ini bandingkan dia. Ohh... atau mungkin dia orang baru di cafe ini," begitu dugaanku. Tak mau pusing panjang-panjang mendengarkan ocehan waiter tersebut, aku langsung memesan kesukaanku. Segelas hot cappucinno ukuran large yang akan ku habiskan sampai cafe itu tutup dan mereka akan mengusirku secara halus. Yaitu dengan cara pura-pura batuk sambil mengangkat kursi yang kosong ke atas meja.
Begitu si waiter berlalu, saat aku baru saja ingin membuka novel yang sudah seminggu ku baca, telingaku terusik oleh tangisan seorang anak laki-laki kecil. Ia berdiri tidak jauh dari ku dan seluruh mata tertuju padanya. Ia menangis bak sirine ambulance yang meraung-raung tak henti. Tangan kirinya menggenggam mobil-mobilannya yang sepertinya baru saja dibelinya dan tangan kanannya mengusap-usap air mata yang jatuh ke pipinya. Usianya kira-kira lima tahun dan ia terpisah dari orangtuanya. Pikirku, "ahh... kemana sih orangtua tidak bertanggung jawab itu?" Aku pun menuduh dalam hati, "mungkin saja mereka sibuk belanja, memuaskan mata sampai-sampai melupakan anak mereka." Tak lama kemudian datanglah seorang berpakaian safari hitam-hitam, berkumis tebal sampai menutupi mulutnya, dan dengan HT di tangannya ia menghampiri si anak kecil itu. Di mataku ia kelihatan seperti sedang mengajukan beberapa pertanyaan kepada anak kecil itu seperti sedang mengintrogasi seorang penjahat yang baru saja mencuri di mall. Tentu saja anak itu tidak menjawab. Melainkan justru lebih kencang lagi menangis. Bahkan kali ini anak itu duduk dan nyaris guling-gulingan di lantai. Mungkin saja ia takut melihat wajah garang dan kumis tebal si pria berseragam safari tersebut, walaupun sebenarnya pria itu sudah berusaha lembut dan berakting bersuara kekanak-kanakan. Tak diduga, tangisan anak itu tiba-tiba saja terhenti ketika seorang customer service cantik dari meja informasi datang menghampirinya. Dengan tersenyum, pikirku, "pintar juga anak ini... bisa menilai mana muka yang garang dan mana yang cantik nan bahenol. Aku juga pasti memilih yang sama, kalau di posisi seperti dia." "Dasar otak ngeres", batinku. Kemudian anak itu dibawa ke meja informasi dan tak lama terdengar toa di langit-langit menjelaskan ciri-ciri si anak hilang, dan memanggil nama orangtuanya.
*****
Memang seringkali ada kejadian-kejadian lucu bin ngakak saat aku sedang duduk menikmati kopi, seperi yang aku liat kemudian. Di depan mataku lewat sepasang dua sejoli. Mereka kelihatan sedikit lebih tua dari ku. Memakai baju yang sewarna, merah-merah, mereka berjalan begitu mesra. Bagaikan Rohim & Juleha dalam cerita Shakespeare. Tangan Juleha melingkar di belakang pinggang Rohim. Dan Rohim pun membalas dengan melingkarkan tangannya di leher Juleha. Mereka berjalan berdampingan tanpa peduli setiap mata iri pada mereka. Dan begitu mereka melewati meja ku, aku mendengar bunyi kecupan penuh nafsu yang dilayangkan oleh salah satu dari pasangan yang paling ideal selama aku duduk di teras cafe tersebut. "Mereka pikir ini Verona (kota asal Romeo dan Juliet)?" sirik ku. Tapi pikirku, "jangan munafik dong Den, sirik aja... mungkin juga kamu akan melakukan hal sama jika sedang jatuh cinta." Sedetik kemudian aku dengar suara..."ceplak..." Bunyi kulit telapak tangan beradu dengan kulit pipi. Tiba-tiba sepasang sejoli ini panik bukan kepalang, seperti habis melihat hantu. Tapi bukan hantu yang mereka lihat. Ini lebih seram lagi. Lebih seram dari pocong atau vampir. Mahkluk seram itu berteriak histeris di tengah keramaian, "kurang ajar... rupanya benar kata tetangga... kamu selingkuh. Dan kamu perempuan lonte.... awas kamu..." Seketika itu juga terjadi perang jambak-jambakan. Dan si pria bersafari hitam-hitam tadi berlari melerai mereka.
*****
"Ada-ada saja," kataku. Akhirnya, kopi yang ku tunggu datang dibawa oleh si waiter baru tersebut. Ia menaruhnya di meja bundar yang ada dihadapanku dan berkata dengan ramah sekali, "silakan menikmati, mas." Aku tidak membalas ucapannya, karena aku berharap jangan sampai obat pencegah kantuk ini, dia yang membuatnya. Instingku mengatakan jika dia yang belum berpengalaman membuatnya, mungkin rasanya akan berantakkan. Btw, aroma cappucinno selalu menggodaku untuk langsung menyeruputnya. Jika ditambah dengan biskuit coklat, maka malam ini akan menjadi sempurna. Dua sachet gula ku masukkan, ku aduk rata, dan tak tahan menunggu lama aku langsung menikmatinya. Tapi, tiba-tiba indra pengecapku menditeksi keanehan. Kopi mahal itu terasa pahit sekali, seperti kopi tubruk buatan warteg bu Ijah, sebelah kos-kosan ku. "Sial, rugi 30ribu!," makiku pelan. Tapi tak mau rugi, dengan wajah sepahit kopi di depanku, aku tetap meminumnya. Harapku, waiter baru itu akan lewat di depanku dan akan ku intograsi seperti yang dilakukan pria bersafari hitam-hitam tadi. Ternyata bekerja juga telepatiku. Ia datang dan menanyakan, "bagaimana kopinya, mas? Mungkin ada lagi yang mau dipesan?" Saat itulah secepat kilat aku menyambungnya, "kopinya pait, mba... kaya kopi tubruk!" Kaget dengan jawabanku, waiter baru itu bertanya lagi dengan hati-hati, "masa, mas? Apa sudah dikasih gula?" Kemudian matanya melirik dua sachet gula yang sudah terbuka di atas meja, lalu ia berkata, "maaf... nanti saya ganti dengan yang baru..." "Emang siapa yang buat kopi ini?" tanyaku penasaran. "Saya sendiri, mas. Saya lagi training dan karyawan di sini masih kurang mengajarin saya." Kasihan melihatnya, dengan nada sok bijaksana aku berkata, "ga usah diganti, mba, gak papa kok. Nanti mba dimarahin sama supervisor mba." Setelah mengucapkan terima kasih, waiter itu pun pergi dan aku kembali menikmati kopi pahitku.
*****
Kursi-kursi yang tadinya kosong, sekarang hampir terisi penuh. Beragam alasan membuat orang duduk di cafe itu. Ada yang cuma nongkrong gak jelas seperti ku. Ada yang cuma bisa mengangguk-angguk saat agen menawarkan asuransi, padahal dalam hati ingin kabur saja. Ada yang berapi-api membahas politik, seolah-olah mereka adalah politikus penyelamat negri ini. Tapi yang paling menarik di antara pengunjung cafe itu. Ada yang gelisah komat-kamit menghafal kata-kata gombal untuk menembak kekasihnya. Ia duduk di dalam cafe, dekat meja kasir. Posisi yang kurang strategis menurutku. Tapi tak mungkin aku berjalan ke mejanya dan menasehatinya. Bisa jadi nanti mejaku diambil orang. Setelah setengah jam duduk di sana, yang ditunggu datang jua. Sang arjuna akhirnya menyatakan cintanya sesuai apa yang telah dilatihnya dari setengah jam yang lalu. Tak ada posisi berlutut sambil memegang tangan sang kekasih, seperti di film-film. Tapi ia mengungkapan cintanya lebih romantis dari film manapun. Yang bisa ku baca dari bibirnya adalah, "Marry...sudah lama kita berteman...dan aku ingin kamu tahu bahwa saat ini di hatiku ada kanvas putih kosong yang ingin aku lukis...dan yang sangat ingin aku lukis di kanvas ini ialah wajahmu yang cantik dan senyummu yang manis..hanya kamu seorang..." Sekuntum mawar merah yang dikeluarkan dari balik jaket kulitnya, menjadi jurus pamungkasnya. Sambil menatap dengan tulus mata gadis pujaanya, ia berkata, "maukah kamu menjadi kekasihku?" Wow...,"Nice try dude," salutku dalam hati, walaupun jawaban kekasihnya adalah, "aku pikir-pikir dulu ya."
*****
Jam 10 malam, seluruh meja di cafe itu penuh total, padahal sebentar lagi, jam 11, cafe dan mall akan tutup. Banyak pengunjung yang akhirnya pindah ke cafe sebelah untuk mencari tempat yang lebih kosong. Tiba-tiba sebuah suara merdu menyapa telingaku, "maaf permisi, mas... cafe ini adalah cafe favoritku, tapi malam ini tidak ada meja yang kosong. Kalau mas sedang sendiri dan kalau saya tidak mengganggu, apa boleh saya duduk di meja ini?" Mimpi apa semalam pikirku! Aku pun langsung berdiri menarik kursi di depanku dan mempersilakan gadis cantik itu untuk duduk. "Loh, bukannya mba si ustomer service yang tadi nolong anak kecil tadi?" aku bertanya. "Benar, mas," jawabnya singkat. "Bagaimana rasanya jadi pahlawan hari ini, mba?" tanyaku sambil menggodanya. "Ah biasa aja. Itu sih sudah jadi bagian tugasku sehari-hari, mas," balasnya dengan senyuman menghias wajahnya yang berlesung pipi. Melihat tanda-tanda alam ini, batinku bergejolak bertanya kepada Tuhan, "Tuhan apakah dia yang Kau kirimkan untukku? Waduh, terima kasih Tuhan kalau begitu!" Satu jam pun kami habiskan untuk minum, basa-basi mengenai tempat tinggal, hobi dan pekerjaan. Waktu sudah semakin malam, pengunjung cafe sudah banyak yang pulang dan supervisor menaruh sign board yang bertulis last order di pintu depan cafe, tanda sebentar lagi akan tutup. Aku masih menikmati sisa kopi terakhirku dan percakapanku bersama gadis dari meja informasi tersebut. Rupanya ia menunggu temannya yang juga bekerja di mall itu, agar dapat pulang bersama.
Tinggal tiga meja yang masih bertahan di cafe itu dan tiba-tiba saja dari dalam dapur cafe terdengar suara gaduh. Suara para karyawan cafe yang terkejut, berteriak bercampur sorak-sorai, dan mengucapkan selamat. "Mungkin ada karyawan yang ulang tahun," kataku pada teman ngopiku itu. Tiba-tiba wangi parfum yang setahun lalu ku hirup dalam mimpiku, tercium kembali. Seluruh syaraf di tubuhku bergetar menyambutnya. Tubuhku merinding. Ku hirup terus dalam-dalam untuk memastikannya. Batinku berdoa, "oh, terima kasih Tuhan, inilah akhir pertualanganku selama ini. Kau telah mengirimkan gadis di....." Dan sebuah suara memotong doaku, "permisi mas, maaf atas kesalahan yang tadi. Saya memang orang baru di cafe ini. Tapi sebenarnya saya owner baru di sini. Owner yang lama menjual cafe ini pada saya. Dan menurut saya untuk mengetahui kondisi kerja di sini saya harus menjadi Undercover Boss, seperti acara reality show di BBC, di Indovision. Saya sudah 3 hari kerja di sini dan saya tahu mana karyawan yang bisa dipertahankan dan mana yang tidak. Sekali lagi saya minta maaf. Saya janji tidak akan ada kopi pait lagi untuk Anda." Bengong sambil mulut menganga, itulah reaksiku saat mendengar kisah penyamarannya. Beberapa menit yang lalu pasti semua orang menganggap dia sebagai waiter yang dianggap sebelah mata. Namun kini ia telah melepas topi golfnya, mengurai rambut panjangnya dan menyemprotkan parfum di sekujur seragam putih hitamnya. Ia telah berubah menjadi seorang gadis yang sangat cantik dengan lesung pipit menghias wajahnya tiap kali ia tersenyum. Dialah gadis dalam mimpiku. Gadis yang menjumpaiku di cafe yang rupanya miliknya sendiri. Tapi yang terpenting, dialah pemilik wangi parfum yang selama ini ku cari selama ini. Masalahnya sekarang, bagaimana menyakinkannya bahwa gadis yang duduk bersamaku bukanlah pacarku. Ternyata pertualanganku belum berakhir, melainkan baru saja dimulai...untuk mendapatkan hatinya. Apakah dia memiliki mimpi yang sama dengan ku? Aku belum tahu. Itulah yang harus aku cari tahu. Tapi yang aku tahu sekarang, kopi pahit ini tiba-tiba menjadi manis.